Monday, December 25, 2006

Artemis Fowl: Insiden Arktik


Fiksi (terjemahan)
Judul Asli: Artemis Fowl -- The Arctic Incident
Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Cudgeon tertawa seram, "Kalian mungkin lupa siapa namaku, tapi aku adalah tokoh jahat di buku pertama. Dan seperti biasa, jika tokoh jahat tidak mati..."

"...ia akan kembali dan menjadi lebih berbahaya!" sambung Opal Koboi.

Kapten Holly memandang Opal, "Aku lebih kasihan kepada pembaca yang harus menahan tawa setiap kali membaca namamu."

"Oho," Cudgeon tersenyum sinis. "Dengan plot hebat berupa penyelundupan senjata teknologi lama ke dunia peri, memberikannya kepada para goblin."

"Lantas mematikan semua senjata dunia peri buatan perusahaanku," sambung Opal.

"Para pembaca akan menyimak dengan saksama bagaimana kami menguasai dunia peri!" simpul Cudgeon.

Artemis mendengus, "Ini bukannya plot serupa seperti di buku pertama, yang mendorong terjalinnya kerja sama antara manusia dan peri?"

Butler mengangguk, "Ujung-ujungnya, kalian bakal kalah."

"Sialan," maki Cudgeon. "Betul juga. Tapi rencanaku sempurna! Tidak akan ada yang bisa menghancurkannya." Ia berpikir, "Kecuali jika aku berlaku seperti tokoh superjahat standar, membeberkan rencanaku mengkhianati Opal, dan sempat kalian rekam."

"Kau baru saja melakukannya," ujar Foaly, menyetel ulang hasil rekaman.

"Argh!" Cudgeon menginjak-injak lantai. "Ya sudahlah. Berarti aku harus mati di buku ini supaya kemungkinan plot itu tertutup selamanya."

"Jangan lupa untuk membuat kematianmu terlihat tanpa sengaja, ya?" ucap Artemis. "Kita tetap harus menjaga moral buku ini."

"Ya, ya," geram Cudgeon sebelum tak sengaja tercemplung ke dalam plasma.

"Oke, Artemis," Holly memberi isyarat. "Sekarang saatnya kami membalas budi dengan menyelamatkan ayahmu yang ditawan Mafiya Rusia."

"Holly! Jarimu putus!" seru Artemis.

"Master Fowl Senior terjatuh ke sungai es!" seru Butler.

"Jangan khawatir, aku kan elf dengan api biru yang dapat menyembuhkan segalanya," ujar Holly.

"Oh, untunglah," kata Artemis lega. "Saya kira kita bakal kehabisan Deus ex machina."

Sunday, December 24, 2006

Mengubah Perlawanan Menjadi Pemahaman


Nonfiksi (terjemahan)
Judul Asli: They Just Don't Get It!
Penulis: Leslie Yerkes dan Randy Martin
Ilustrasi oleh: Ben Dewey
Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer


"Ini ideku yang hebat!" seru Julie, sang eksekutif periklanan.

Kliennya mengerutkan kening, "Saya nggak ngerti."

"Kok bisa nggak ngerti?" suara Julie meninggi. "Ini lucu!"

"Nggak tuh," cibir sang klien.

"Oke," Julie menghela napas, "kalau gitu saya akan pusing selama dua hari, luntang-lantung nggak karuan, hingga bertemu orang-orang yang akan memberi saya pencerahan."

"Silakan." Sang klien bahkan tidak menoleh saat Julie keluar ruangan.

Julie kembali masuk ke dalam ruangan presentasi, "Saya sudah tercerahkan!"

"Cepat juga," ujar sang klien.

Julie mengangkat bahu, "Namanya juga versi lima menit." Ia kembali serius, "Saya salah karena memaksakan pendapat kepada Anda. Seharusnya saya justru mendengarkan mengapa Anda bisa tidak mengerti. Dengan begitu, kita bisa sama-sama belajar untuk mengerti."

Kedua pengarang bersorak, "Kita punya bahan baru untuk bikin pelatihan!"

Tuesday, December 19, 2006

Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh


Fiksi
Judul: Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Penulis: Dewi Lestari
Penerbit: Truedee Books


"Walau aku adalah pengusaha sukses, tampan, dan terkenal, aku merasa hidupku kosong tanpa cinta," ujar Ferre.

"Walau aku adalah reporter majalah wanita sekaligus istri dari seorang lelaki terhormat, aku merasa hidupku hampa tanpa cinta," ujar Rana.

Ferre membelai dagu Rana. "Apakah akan ada pembaca yang menduga kalau kita akan saling mencintai tanpa penyelesaian?"

"Tidak akan!" ujar Dimas dan Ruben. "Karena kami akan membingungkan mereka dengan berbagai diskusi sains maupun religi yang disertai istilah-istilah asing dan luapan catatan kaki." Dimas mencium Ruben, "Ngomong-ngomong, kami gay. Cukup kan, sebagai faktor kejutan dalam budaya yang masih homofobik?"

"Dan jangan lupakan saya," sambung Diva. "Seorang wanita cantik, cerdas, dan kaya dari menjual diri maupun entah apa lagi." Diva mengusap rambutnya. "Aku akan hadir sebagai tokoh rekaan Dimas dan Ruben yang kemudian membalikkan papan catur dengan menjadi nyata!"

Pembaca Indonesia pun berdecak kagum, "KEREN BANGET!"

Pembaca di seluruh bagian dunia lain mengerutkan kening, "Sophie's World?"

Monday, December 18, 2006

Lost in Teleporter


Fiksi
Judul: Lost in Teleporter
Penulis: Fitria Barmawi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


"Hmm, aku tidak suka hidungku," ujar Dewey. "Dan aku sebentar lagi menggunakan teleporter."

Hidungnya tertukar.

"Wow! Seharusnya mereka jual alat ini di TVMedia!" seru Dewey. "Ubah hidung Anda tanpa operasi hanya dengan--tunggu dulu! Aku nggak suka hidungku yang baru. Kembalikan yang lama, dasar NatioTrans busuk!"

"Maaf, Pak," ujar pegawai NatioTrans, "kami mengalami kesulitan..."

"Aku akan menuntut kalian ke pengadilan!" ancam Dewey.

"Bapak sudah bertemu kepala Divisi Perangkat Lunak kami yang cantik dan seksi?" tanya sang pegawai.

"Hai," sambut Meylana. "Bagaimana kalau kamu bergabung dengan kami sebagai narasumber?"

"Kapan aku bisa mulai?" senyum Dewey.

Meylana melirik tangan Dewey, "Bukannya kau sudah bertunangan?"

"Oh sialan," maki Dewey, "cincin ini nggak ikut terteleportasi."

"Bagiku nggak masalah kok," Meylana menenangkan Dewey.

Dewey mengangkat bahu, "Oke."

Dan mereka pun kencan.

"Bang, SMS siapa ini, Bang?" tanya Nilam, menunjuk pesan-pesan Meylana dalam smartphone Dewey.

Dewey memicingkan mata, "Kamu bukannya orang Sunda?"

"Oh, iya," Nilam malu. "Tepatnya aku orang Sunda yang introvert dan suka mengembara dalam mimpi. Poin ini penting untuk ditekankan."

"Terserah kau, lah," Dewey mengibaskan tangannya.

"Hei, hidungmu tertukar denganku, ya?" geram Narada. "Sayang sekali, saya nggak mau tukeran."

"Anda sudah bertemu tunanganku yang cantik, introvert, dan suka mengembara dalam mimpi?" tanya Dewey.

Narada melongo. "Oke, tukeran yuk."

"Hidung?" sambut Dewey bersemangat.

"Bukan, tunangan."

"Tapi kamu kan nggak punya tunangan," tunjuk Dewey.

"Betul," angguk Narada. "Dan sekarang, kamu yang nggak punya." Ia memeluk Nilam. "Kami sering bertemu dalam pengembaraan mimpi kami."

"Sial," maki Dewey. "Untunglah aku punya Meylana."

"Ngomong-ngomong," tukas Meylana, "aku udah bersuami."

Dewey menghela napas. "Tak apalah, aku akan berjiwa besar dan menerima semuanya." Hebatnya, ia tidak berbohong.

Sunday, December 17, 2006

Flash! Flash! Flash!


Fiksi
Judul: Flash! Flash! Flash! (Kumpulan Cerita Sekilas)
Penulis: Kira-kira sejumlah tiga tim sepakbola (termasuk cadangan dan pelatih)
Penerbit: Gradien Books


“Apa ini?” tanya sang pembaca.

“Oh, kau membaca karyaku,” jawab seorang penulis.

“Bukan, sekarang itu karyaku!” tukas penulis lainnya.

”Yang itu karyaku, kok,” potong bejibun penulis lainnya.

”Emang udah terbaca tiga cerita berbeda kok,” ucap sang pembaca. ”Bagus juga ceritanya pendek-pendek. Bisa kupakai untuk mendongeng ke keponakanku.”

”Jangan deh,” tahan bejibun penulis serentak.

Sang pembaca mengangkat kedua alis, ”Kenapa?”

”Ada pembunuhan tanpa alasan jelas,” ucap seorang penulis.

Penulis lain mengangguk, ”Ada cerita yang mengandalkan humor nyerempet seks.”

”Eh,” seorang penulis turut bersuara, ”tapi ada juga dong monolog tentang cinta.”

”Aku bingung,” sang pembaca memegang kepalanya. ”Jadi kalau aku disuruh bercerita tentang apa buku ini, apa yang harus kukatakan?”

"Ultah Blogfam ke-3!” seru mereka bersama.

”Oh,” angguk sang pembaca mengerti. ”Makanya semua cerita harus 126 kata, karena bulan dua belas tanggal enam, ya?”

”Em,” celetuk seorang penulis, ”bisa 216 kata juga sih.”

”Ulang tahunnya dua kali?” Alis sang pembaca kembali terangkat. ”Satu lagi pas 21 Juni?”

”Nggak sih,” ujar bejibun penulis serentak.

Sang pembaca mengangkat bahu, ”Terserah deh.”

Sunday, December 10, 2006

State of Fear


Fiksi
Judul: State of Fear
Penulis: Michael Crichton
Penerbit: Avon Books


“Hai,” sapa George Morton. “Saya biliuner kaya yang terlibat dalam berbagai proyek rahasia lingkungan hidup.”

“Dan saya pengacaranya,” ujar Peter Evans. “Walau di awal dialog saya sedikit, tapi saya adalah tokoh utamanya.”

George menghilang. Peter mencarinya. Dan dua kali hampir mati.

“Jangan khawatir,” kata John Kenner. “Di saat penting, aku pasti muncul untuk menyelamatkan situasi.”

“Kamu siapa?” tanya Peter.

“Aku agen rahasia pemerintah untuk melawan organisasi rahasia yang ingin mengakibatkan bencana alam berskala besar.”

Peter mengerutkan kening. “Saking rahasianya sehingga minim tenaga dan harus mengandalkan bantuan orang sipil seperti aku dan George?”

“Kira-kira begitu lah,” aku Kenner sambil menembak mati beberapa musuh.

“Jangan lupakan aku,” Sarah muncul. “Sekretaris cantik serbabisa berkaki jenjang.” Ia menembak mati seorang musuh. “Dan melengkapi elemen cerita agar bisa dijadikan skenario film Hollywood.” Ia menoleh ke arah Peter. “Oh, ya, ngomong-ngomong, George mati.”

“Oke,” kata Peter sambil turun dari pesawat. “Ada yang bisa memberiku alasan logis kenapa aku tetap ikut bersama kalian ke pulau terpencil ini, yang penuh dengan kanibal, pemberontak bersenjata, dan nyamuk malaria?”

Sarah mengangkat alis, “Tadi aku udah bilang belum mengenai diriku berkaki jenjang?”

“Jangan khawatir tentang nyamuk,” kibas Kenner. “Mereka bahaya jangka panjang. Pembaca hanya peduli bahaya jangka pendek.”

“Seperti itu?” tunjuk Peter kepada barisan mesin pembangkit tsunami.

“Ya,” angguk John. “Kau sedang cedera dan nggak pernah mendapatkan pelatihan militer, kan?”

“Belum pernah sama sekali,” geleng Peter.

“Oke, kau ambil alih satu generator.” John segera membunuh penjaga generator lainnya.

“Terlambat!” teriak Peter. “Mereka sudah sempat menyalakannya!”

“Celaka!” teriak George Morton. “Telepon CNN! Tunda siaran cuaca! Dan hubungi pialang sahamku juga. Jual semua saham hotel di pinggiran pantai!”

“George!” Peter berseru. “Kau masih hidup! Mari berlari ke dataran tinggi sebelum tsunami datang!”

“Oke!” sambut George. “Jangan lupa untuk membiarkan air di belakang kita setidaknya lima meter. Itu efeknya lebih tegang.”

Mereka selamat dan menyaksikan air laut yang mengganas. “Melihat semua ini membuatku menyadari sesuatu,” kata George.

“Bahwa banyak spekulasi tentang lingkungan hidup yang disesatkan sebagai informasi?” tanya Sarah.

“Bahwa kedua sisi—baik perusak maupun pelindung lingkungan—memiliki agenda?” tanya Peter.

"Bukan," geleng Morton. “Bahkan salah satu bencana alam terbesar di dunia pun bisa jadi ajang promosi novel.”

Monday, December 4, 2006

Koq Putusin Gue?


Fiksi
Judul: Koq Putusin Gue?
Penulis: Ninit Yunita
Penerbit: Gagas Media


"Gue menanti-nanti kejutan yang akan dibuat pacarku," ucap Maya. "Kami kan sudah jadian setahun."

"Kejutan!" seru Hari. "Kita putus, yuk?"

"Kenapa?" tanya Maya.

"Aku pengin kita temenan aja," jawab Hari.

"Oh, cewek lain," Maya menyingsingkan lengan baju. "Kalau gitu gue dendam deh."

"Emang kalau dendam mau ngapain?" tanya temannya, Rini.

"Gue akan menggunakan strategi Sun Tzu!" tegas Maya.

"Mengempeskan ban mobil?" tanya Rini. "Bagian dari mananya Sun Tzu tuh?"

Maya menatap temannya tajam, "Bab XVII: Jangan pertanyakan kedangkalan tokoh fiksi."

"Terserah," Rini mengangkat bahu. "Tapi suatu saat elo harus menyadari bahwa lebih baik merelakannya saja."

Dan Maya pun merelakannya.

Saturday, December 2, 2006

Love At First Fall


Fiksi
Judul: Love at First Fall
Penulis: Primadonna Angela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Aku Wulandari. Cewek tomboy stereotipikal yang bisa menang berkelahi melawan lelaki. Agar tidak terlalu stereotipikal, aku akan meracau tentang banyak hal.

Namun intinya: Aku senang Kevin. Ditunangkan oleh Kevin. Kevin tidak menganggapnya serius. Kalau gitu, aku juga nggak dong.

Pergi ke Den Haag aaah.

“Halo, Ndari!” sambut cowok bule ganteng di Den Haag. “Aku Steve, bule yang bisa berbahasa Indonesia kaku supaya dialog di buku ini tidak terlalu banyak dicetak miring,” sapanya. “Ngomong-ngomong cetak miring, I love you.”

Oke, ini pembelokan plot yang cukup penting. Kalau gitu, aku akan meracau lagi selama beberapa puluh halaman.

Main dengan Steve. Kepergok Kevin. Dia marah besar. Di saat seperti ini, aku harus bertindak seperti tipikal cewek tomboy mandiri: bingung. Kenapa marah, ya? Dan sebenarnya, perasaanku bagaimana ke Steve dan Kevin? Ini dua pertanyaan yang juga sangat penting. Karena itu aku harus menggunakan cara paling logis untuk menemukannya.

Bungee jumping aaah.

Oke, ternyata aku suka Steve. Lho, Kevin ternyata suka aku. Ngomong dong. Sekarang dah telat. Dadah. Saatnya untuk Ndari sang cewek mandiri untuk datang ke tempat Steve dan menyatakan perasaannya.

Hmm. Yang ada cuman teman lakinya. Dan kebetulan ingin memperkosaku. Sial juga. Tapi jadi untung kok karena Steve datang. Hore!

Happy ending aaah.

Friday, December 1, 2006

James dan Persik Raksasa


Fiksi (terjemahan)
Penulis: Roald Dahl
Judul asli: James and the Giant Peach
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


“Namaku James Henry Trotter,” ujar sang tokoh utama. ”Dan seperti cerita Roald Dahl lainnya, aku harus menderita di awal cerita agar bisa bahagia di akhir.”

“Aku tokoh jahat,” potong Bibi Sponge.

”Aku juga,” timpal Bibi Spiker. ”Ayo kerja, kau binatang menjijikkan!” serunya ke James.

“Psst, bocah kecil,” desis seorang pria tua. “Menderita, ya? Tanpa alasan yang jelas, aku memiliki benda sihir yang dapat membuat peminumnya menjadi berkuasa hebat. Dan aku akan memberikannya padamu cuma-cuma.”

“Wow!” James menerima benda ajaib itu. “Semoga dengan begini aku nggak mengajari anak-anak kecil di seluruh dunia untuk sembarangan menenggak apa pun yang dikasih orang asing.” Ia langsung berlari pulang. “Terima kasih Pak Tua! Sekarang aku akan bergegas lari tanpa memedulikan sekitarku!”

James tersandung akar dan menjatuhkan ribuan benda ajaib itu. Semuanya hilang ditelan tanah. Besoknya, tumbuh satu persik raksasa yang berlubang besar.

“Wah, ada lubang!” James memasukinya. “Siapa pun yang membuat lubang di persik, pasti orang baik.”

“Halo, James,” sapa Kakek Belalang Hijau, Laba-laba Besar, Kepik Raksasa, Lipan, Cacing Tanah, dan Cacing Cahaya.

James melongo, “Apa kalian benar-benar tokoh baik?”

”Kita akan memotong tangkai persik, membiarkannya menggelinding, dan melindas kedua bibimu hingga penyet,” ujar mereka.

”Sudah kuduga! Kalian memang tokoh baik!” seru James girang.

Persik menggelinding, melindas tokoh jahat, dan terjatuh ke laut.

”Wah, kita dalam kesulitan!” keluh para serangga.

”Jangan lupa,” ujar James. ”Aku anak kecil tertindas yang nggak pernah sekolah. Berarti aku pintar!”

”Horeeee! Kita selamat!” seru para serangga. ”Hei, tapi aku kan bukan serangga,” protes Cacing Tanah.

Mereka mengalami berbagai petualangan hingga persik tertusuk di atas puncak Empire State Building.

”Celaka! Polisi mengepung kita!” teriak Laba-laba Besar.

”Mereka mengira kita monster!” lolong Kepik Raksasa.

”Jangan khawatir!” potong James. ”Aku akan mengenalkan kalian sambil bernyanyi. Dengan begitu, kalian akan dicintai!”

”Horeeee!” seru para serangga dan penduduk New York.

Monday, November 27, 2006

Keong Ajaib (The Conch Bearer)


Fiksi (terjemahan)
Judul Asli: The Conch Bearer
Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


“Aku Anand,” ujar sang tokoh utama. “Tokoh utama berumur dua belas tahun—usia yang cocok untuk memercayai hal-hal ajaib dengan mudah. Untuk mendemonstrasikan kebaikan hatiku, aku akan memberikan jatah makanan dan minumanku kepada seorang kakek tua lusuh.”

“Terima kasih, Anand,” sambut sang kakek tua lusuh. “Tapi aku sebenarnya orang sakti. Dan aku memiliki pekerjaan yang sangat penting bagimu.”

“Pekerjaan apa?” tanya Anand.

Sang Kakek mengeluarkan sesuatu, “Membawa keong ini.”

“Keong? Untuk apa,” lirik Anand setengah hati.

“Maaf,” ralat sang kakek. “Keong ajaib ini.”

“Oh, tentu saja!” terima Anand dengan suka hati. “Kenapa tidak?”

Mereka berdua pun berangkat. Dan dihadang oleh para pengikut Surabhanu.

“Surabhanu itu siapa sih?” tanya Anand.

“Hush!” desis sang kakek. “Jangan ucapkan namanya! Itu akan--”

“Baru saja kulakukan,” potong Anand.

“Kalau gitu, kita harus lari!” sang kakek menarik Anand berlari, hanya untuk bertemu Surabhanu. “Terlambat! Aku terpaksa bertarung dengan gaya surealis!”

Mereka terpisah.

“Aku sendirian,” keluh Anand.

“Lho, kan ada aku,” ujar Nisha.

Anand melirik kesal, “Kamu hanya tokoh pendamping.”

Nisha tersadar, “Oh, iya.”

“Kau tidak sendirian, Anand,” ujar Keong.

Anand memegang Keong. “Dari mana aku tahu kalau kau benar-benar nyata dan bukan karena aku mulai gila?”

“Gila sampai berbicara sendiri bukan plot untuk tokoh berusia dua belas tahun,” kata Keong dengan bijak.

“Kau benar! Berarti kau memang nyata!”

Surabhanu muncul dalam bentuk hantu. “Aku mulai bosan mendengar dialog ini dan memutuskan untuk membunuhmu sekarang.”

“Kau tahu kan, kalau bakal gagal?” Anand menunjukkan perubahan tokohnya menjadi dewasa dengan melontarkan retorika.

“Iya,” angguk Surabhanu. “Itulah nasib jadi tokoh jahat. Oke, aku akan menggunakan sihirku untuk membujukmu memberikan keong itu.”

“Itu juga bakal gagal,” tukas Keong, memberikan bantuan.

“Sial!” maki Surabhanu. “Ya sudah. Sampai jumpa di buku berikutnya, kalau yang pertama ini cukup laku!” teriak Surabhanu sambil menghilang.

“Hore!” seru Anand. “Kita sampai di tempat tujuan!”

“Selamat datang, Anand!” sambut para penjaga. Untuk menghormati jasa-jasamu, kami memberikanmu dua pilihan: “Kami hapus ingatanmu tentang tempat ini atau kami hapus ingatan orangtuamu tentang kamu.”

“Aku memilih,” Anand berpikir lama sebelum akhirnya mengatakan, “yang kemungkinan sekuelnya paling besar.”

Wednesday, November 22, 2006

Bertanya atau Mati!


Nonfiksi
Judul: Bertanya atau Mati!
Penulis: Isman H. Suryaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


"Entah bagaimana, keponakanku Karina bisa secara naluriah mengetahui barang mana saja yang tidak boleh dimasukkan ke dalam mulut, dan mengincarnya," tulis sang buku. "Jika saja ada kelas bayi yang mengajarkan mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak, jangan-jangan Karina akan mencoba menelan gurunya."

"Haha!" tawa sang pembaca.

"Hah?" ujar temannya, menggaruk kepala.

"Lantas, ada pula gulat, cabang olahraga yang sangat mencerminkan dunia kerja," tulis sang buku dalam esai lain. "Saat masih dalam lingkup amatir, seorang pegulat akan berusaha mati-matian untuk membanting dan mengunci setiap lawan demi meraih prestasi. Tapi begitu menginjak dunia profesional dan dibayar, ia hanya pura-pura bertarung."

"Haha!" tawa sang pembaca.

"Lucunya di mana sih?" tanya teman sang pembaca.

"Nggak ngerti," geleng sang pembaca. "Daripada dikira nggak bisa nangkep."

"...buku humor yang mengajak Anda tertawa dan berpikir," tulis Isman di blognya.

"Tertawa atau berpikir kali, ya?" ujar sang pembaca.

Monday, November 20, 2006

Jomblo


Fiksi
Judul: Jomblo (Sebuah Komedi Cinta)
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: Gagas Media


"Saya jomblo karena keraguan," ujar Olip. Dan ia (akhirnya) ditolak pada usaha pertama.

"Gue jomblo karena pilihan," ujar Doni. Dan ia meniduri cewek yang ditaksir Olip.

"Gua jomblo karena kelakuan," ujar Bimo. Dan ia ditolak pada pandangan pertama.

"Guah jomblo karena ketidaklakuan," ujar Agus. Tapi ia bohong.

Status jomblo bertahun-tahun: Hancur.

Agus memacari dua cewek sekaligus. "Saatnya bagiku untuk berteori tentang cewek," ujar Agus. Doni, Bimo, dan fantasi Olip mendukung dengan bergantian jadi comic relief.

"Susah ya, setia ke cewek yang nyusahin?" keluh Agus, merangkul selingkuhannya. "Ngomong-ngomong, Agus udah jadian lho."

"Oke," angguk sang selingkuhan, "kalau gitu gua mau ke kamar mandi dulu dan nangis, siapa tahu ada cewek lain yang bernasib serupa di sana."

"Hai," sapa seorang cewek di dalam kamar mandi. "Gue baru kehilangan keperawanan ama cowok. Kira-kira masalah elo serupa nggak?"

"Awalnya emang gua bukan perawan, sih, tapi sama, lah. Cowok emang berengsek!"

"Iya, tapi gue jatuh cinta kepada si berengsek itu," ujar sang cewek dalam kamar mandi.

"Sama," angguk sang selingkuhan. "Yuk ah, dadah."

"Gus, temenin gua menghancurkan persahabatan kita dong," ajak Doni. "Gua mau ngomong ke Olip, nih, kalau cewek yang ia taksir jadian ama gua."

"Oke," angguk Agus. "Supaya nggak mencolok, gimana kalau kita ngomongnya di tengah lapangan basket?"

Persahabatan bertahun-tahun: Hancur.

"Neng," sapa Agus kepada pacarnya. "Aa mau put..."

"Ngomong-ngomong, Aa," potong pacarnya, "ini saat yang tepat nggak bagi saya untuk menunjukkan kedewasaan diri?"

"Tepat banget," angguk Agus. "Aa jadi nggak bisa mutusin." Agus pun pergi dan memutuskan selingkuhannya dengan justifikasi diri.

"Bentar, bentar," tahan Agus. "Harus ada romantisasi di sini." Ia berpikir, "Dan dia pun tak pernah terlihat secantik ini."

Akal sehat bertahun-tahun: Hancur.

Tuesday, November 14, 2006

Kokology


Nonfiksi (terjemahan)
Judul: Kokology (Game Praktis Menggali Potensi Anda)
Penulis: Tadahiko Nagao dan Isamu Saito
Penerbit: Delapratasa


“Saat malam natal, Anda datang bersama teman-teman,” tulis sang buku. ”Seseorang mengenakan jas kuning, dan seorang lagi mengenakan jas biru. Siapa saja mereka?”

”Aku sendiri!” seru sang pembaca. ”Aku mengenakan dua jaket sekaligus.”

”Yang mengenakan jas kuning adalah orang yang Anda sukai. Dan yang biru adalah yang membuat Anda bersikap dingin,” jelas sang buku.

”Wow! Berarti aku suka dan dingin terhadap diriku sendiri. Dalem banget!”

”Hebat, kan? Dan masih ada banyak lagi dalam diriku!” promo sang buku.

”Horee!” seru sang pembaca. ”Bagus juga buat forward-forward email atau bulletin board Friendster.”

Sang buku mendehem dan menunjuk pasal tentang hak cipta.

“Selamat datang di Indonesia,” sambut sang pembaca.

Friday, November 10, 2006

Artemis Fowl


Fiksi (terjemahan)
Judul asli: Artemis Fowl
Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Artemis Fowl bertekad, "Aku akan mengembalikan kejayaan keluargaku!" Dan dia menyusun siasat.

Butler bersumpah, "Aku akan melindungi Master Fowl hingga mati!" Dan dia mati. (Walau tidak secepat itu.)

Holly menegaskan, "Aku adalah peri LEPRecon yang hebat! Jangan remehkan aku hanya karena aku perempuan." Dan dia diculik oleh Artemis Fowl. (Ya, secepat itu).

"Mari gunakan teknologi kita yang jauh lebih canggih untuk membebaskan rekan kita!" seru pasukan LEPRecon seraya menyerbu mansion Fowl. Dan mereka gagal. (Bahkan jauh lebih cepat.)

"Selubungi mansion dengan medan waktu!" perintah Komandan Root.

"Lepaskan Troll!" perintah tokoh jahat yang perlu ada agar Artemis Fowl tidak terlihat terlalu jahat.

"Troll!?" protes Komandan Root. "Ada petugasku di dalam sana. Kau tahu apa artinya itu?"

Sang tokoh jahat menggaruk dagunya. "Peluang plot untuk beralih agar manusia dan peri bekerja sama?" Dan ia benar.

Butler ditusuk Troll dan (hampir) mati. Holly menyembuhkannya dan pingsan dihantam Troll. Butler yang pulih balik menendang pantat Minotaur (secara harfiah).

"Oke, kau menang," ujar Komandan Root "Kami berikan tebusan emas satu ton." Ia memberikannya. "Sebagai bonus, kami jatuhkan bom biologis."

"Oh, kami punya cara untuk bertahan hidup," kata Fowl tenang. Dan ia benar.

Holly merengut, "Jelaskan sekali lagi, Komandan, kenapa bisa ada aturan bahwa jika kita gagal membunuh manusia yang merampok kita, mereka jadi bebas memiliki emas peri?"

Komandan Root menunjuk buku peri, "Deus ex machina."

Thursday, November 9, 2006

Cewek!!!


(untunglah) Fiksi
Judul: Cewek!!!
Penulis: Esti Kinasih
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

"Gue cewek keras kepala yang mendukung emansipasi wanita," ujar Langen.

"Gua cewek manis yang sebenarnya berjiwa pemberontak," ucap Fani.

"Saya wanita ayu yang masih berdarah ningrat," ujar Febi.

"Kami adalah para pacar yang akan mengesalkan mereka dengan lebih sering naik gunung daripada ngajak mereka kencan," ujar Rei, Bima, dan Rangga.

"Aku Stella yang supergenit," tukas seorang cewek. "Dan aku Josephine yang berbodi yahud," senggol seorang lagi. "Tanpa alasan karakterisasi yang jelas, kami akan naik gunung juga."

"Akan kami temani!" seru Rei, Bima, dan Rangga. "Karena cewek mana bisa lah naik gunung?"

Langen, Fani, dan Febi pun menyusun rencana, "Kita akan tersinggung, menantang cowok-cowok kita balapan mendaki ke puncak gunung, menang, dan memaksa mereka tanda tangan perjanjian untuk melakukan apa saja yang kita mau."

"Sepertinya ada yang kurang di rencana itu," pikir Febi.

"Febi," tegur Fani. "Kau kan wanita ayu. Jangan pikirkan hal kecil seperti kita nggak pernah pengalaman naik gunung dan mereka sudah terbiasa."

"Kami akan menerima, karena kami stereotipe cowok yang memandang rendah cewek," tawa Rei, Bima, dan Rangga. "Kami sendiri heran kenapa mereka masih mau sama kami."

Fani memandang puncak gunung nun jauh di sana dengan terengah-engah, "Kita bakal kalah, Langen."

"Jangan khawatir," Langen menenangkan, "aku ada rencana."

"Terakhir kali saya mendengarkan rencanamu, saya harus mendaki jalan terjal berbatuan sejauh puluhan kilometer," ujar Febi.

"Febi," Fani mengingatkan. "Jangan lupa, kamu wanita ayu."

"Rencana ini berbeda," angguk Langen. "Ini adalah rencana yang akan menekankan salah satu pesan moral buku ini, bahwa kekuatan otot tidak akan menang jika tidak diimbangi kekuatan otak!"

"Matilah kita," keluh Febi.

"Wanita ayu, wanita ayu," ulang Fani sebelum menoleh ke arah Langen. "Dan rencananya adalah...?"

"Kita akan mempertontonkan tubuh kita dengan baju seminim mungkin dalam suhu superdingin!" seru Langen. "Saat rombongan cowok lain curi-curi lihat, para cowok kita pasti nggak rela dan bisa kita paksa untuk menandatangani perjanjian."

"Oh, untunglah," Febi menghela napas lega. "Saya tadinya takut kalau saya harus melakukan hal yang merendahkan martabat saya sebagai wanita."

Mereka melakukannya dan BERHASIL!

"Sekarang kita tahu kenapa mereka masih mau sama kita," ujar Rei kepada Bima dan Rangga. "Karena cowok lain akan membiarkan mereka mati kena radang paru-paru."

"Ya, cowok lain masih waras," angguk Bima dan Rangga.

Tuesday, November 7, 2006

My Two Lovers


Fiksi
Judul: My Two Lovers
Penulis: Syafrina Siregar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


“Aku Nena,” ujar sang tokoh utama. “Wanita dengan tubuh dan pancaindera yang berfungsi baik dan sempurna.” Nena menggeleng-geleng, “Sayangnya otak bukan satu di antaranya.”

“Aku mencintaimu, Nena,” sela rekan sekantornya Deni. “Walau selama ini aku berusaha menarik perhatianmu dengan cara berkencan dengan banyak wanita dan menyuruh mereka berteriak ‘Harder! Harder!’ selagi—ehem—foreplay.”

“Maksudmu ML?” selidik Nena.

“Tidak ada penetrasi!” protes Deni. “Jadi sah-sah saja kalau kamu masih mau mencintaiku. Tidak ada pertentangan moral!”

“Betul juga,” angguk Nena. “Oh, tapi aku mencintai Rasheed. Walau ia selalu mengejekku, menggantung status kami, dan mengirim kabar sudah mau menikah dengan orang lain.”

“Tapi itu kan bohong!” protes Rasheed. “Aku menyesal kok. Jadi sah-sah saja kalau kamu masih mau mencintaiku. Tidak ada pertentangan emosi!”

“Betul juga,” angguk Nena. “Oh, tapi aku mau ke Paris.”

“Lho,” tanya Deni. “Kita bukannya mau menikah?”

“Ya, nggak jadi, lah,” jawab Nena. “Tapi agar aku tidak terdengar kejam, aku akan mengirimkan surat permintaan maaf yang dibungai justifikasi puitis. Tentunya kau akan mengerti.”

“Tentu saja,” jawab surat balasan Deni.

Thank God bukan hanya aku yang otaknya nggak berfungsi di sini,” senyum Rine. “Kau juga mengerti kan, Rasheed?” kirimnya dalam email.

“Oh, ya!” balas SMS Rasheed. “Dan aku juga akan mencintaimu terus dengan cinta yang nyaris menghilangkan akal sehatku.”

Nena mendengus, “Nyaris?"

Wednesday, November 1, 2006

Be a Writer, Be a Celebrity


Nonfiksi
Judul: Be a Writer, Be a Celebrity (The secrets of best-seller novels)
Penulis: Andrei Aksana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Concentrate on Start and Ending,” tulis Andrei Aksana dalam kertas kuning.

“Nasihat yang bagus,” angguk sang pembaca. “Lantas, apa ada teknik atau pengalaman Anda yang bisa bermanfaat bagi saya?”

I will share the secret!” tulis Andrei, memenuhi satu halaman merah muda.

“Dan itu adalah…?”

Be creative!” tulisnya lagi dalam halaman lain.

“Iya, iya,” ujar sang pembaca, “gimana kreatifnya?”

“SABAR!” satu kata itu kini memenuhi satu halaman kuning sendiri.

Sang pembaca menghela napas. ”Entah kenapa, aku merasa lima puluh ribu untuk buku ini terlalu berlebihan.”

Thank you!” tutup Andrei.

“Buku sederhana ini adalah hadiah terindah untuk para (calon) penulis Indonesia,” dukung Clara Ng di sampul belakang buku.

“Aku sih lebih suka hadiah yang berguna,” ujar seorang (calon) penulis Indonesia.