Monday, December 25, 2006

Artemis Fowl: Insiden Arktik


Fiksi (terjemahan)
Judul Asli: Artemis Fowl -- The Arctic Incident
Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Cudgeon tertawa seram, "Kalian mungkin lupa siapa namaku, tapi aku adalah tokoh jahat di buku pertama. Dan seperti biasa, jika tokoh jahat tidak mati..."

"...ia akan kembali dan menjadi lebih berbahaya!" sambung Opal Koboi.

Kapten Holly memandang Opal, "Aku lebih kasihan kepada pembaca yang harus menahan tawa setiap kali membaca namamu."

"Oho," Cudgeon tersenyum sinis. "Dengan plot hebat berupa penyelundupan senjata teknologi lama ke dunia peri, memberikannya kepada para goblin."

"Lantas mematikan semua senjata dunia peri buatan perusahaanku," sambung Opal.

"Para pembaca akan menyimak dengan saksama bagaimana kami menguasai dunia peri!" simpul Cudgeon.

Artemis mendengus, "Ini bukannya plot serupa seperti di buku pertama, yang mendorong terjalinnya kerja sama antara manusia dan peri?"

Butler mengangguk, "Ujung-ujungnya, kalian bakal kalah."

"Sialan," maki Cudgeon. "Betul juga. Tapi rencanaku sempurna! Tidak akan ada yang bisa menghancurkannya." Ia berpikir, "Kecuali jika aku berlaku seperti tokoh superjahat standar, membeberkan rencanaku mengkhianati Opal, dan sempat kalian rekam."

"Kau baru saja melakukannya," ujar Foaly, menyetel ulang hasil rekaman.

"Argh!" Cudgeon menginjak-injak lantai. "Ya sudahlah. Berarti aku harus mati di buku ini supaya kemungkinan plot itu tertutup selamanya."

"Jangan lupa untuk membuat kematianmu terlihat tanpa sengaja, ya?" ucap Artemis. "Kita tetap harus menjaga moral buku ini."

"Ya, ya," geram Cudgeon sebelum tak sengaja tercemplung ke dalam plasma.

"Oke, Artemis," Holly memberi isyarat. "Sekarang saatnya kami membalas budi dengan menyelamatkan ayahmu yang ditawan Mafiya Rusia."

"Holly! Jarimu putus!" seru Artemis.

"Master Fowl Senior terjatuh ke sungai es!" seru Butler.

"Jangan khawatir, aku kan elf dengan api biru yang dapat menyembuhkan segalanya," ujar Holly.

"Oh, untunglah," kata Artemis lega. "Saya kira kita bakal kehabisan Deus ex machina."

Sunday, December 24, 2006

Mengubah Perlawanan Menjadi Pemahaman


Nonfiksi (terjemahan)
Judul Asli: They Just Don't Get It!
Penulis: Leslie Yerkes dan Randy Martin
Ilustrasi oleh: Ben Dewey
Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer


"Ini ideku yang hebat!" seru Julie, sang eksekutif periklanan.

Kliennya mengerutkan kening, "Saya nggak ngerti."

"Kok bisa nggak ngerti?" suara Julie meninggi. "Ini lucu!"

"Nggak tuh," cibir sang klien.

"Oke," Julie menghela napas, "kalau gitu saya akan pusing selama dua hari, luntang-lantung nggak karuan, hingga bertemu orang-orang yang akan memberi saya pencerahan."

"Silakan." Sang klien bahkan tidak menoleh saat Julie keluar ruangan.

Julie kembali masuk ke dalam ruangan presentasi, "Saya sudah tercerahkan!"

"Cepat juga," ujar sang klien.

Julie mengangkat bahu, "Namanya juga versi lima menit." Ia kembali serius, "Saya salah karena memaksakan pendapat kepada Anda. Seharusnya saya justru mendengarkan mengapa Anda bisa tidak mengerti. Dengan begitu, kita bisa sama-sama belajar untuk mengerti."

Kedua pengarang bersorak, "Kita punya bahan baru untuk bikin pelatihan!"

Tuesday, December 19, 2006

Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh


Fiksi
Judul: Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Penulis: Dewi Lestari
Penerbit: Truedee Books


"Walau aku adalah pengusaha sukses, tampan, dan terkenal, aku merasa hidupku kosong tanpa cinta," ujar Ferre.

"Walau aku adalah reporter majalah wanita sekaligus istri dari seorang lelaki terhormat, aku merasa hidupku hampa tanpa cinta," ujar Rana.

Ferre membelai dagu Rana. "Apakah akan ada pembaca yang menduga kalau kita akan saling mencintai tanpa penyelesaian?"

"Tidak akan!" ujar Dimas dan Ruben. "Karena kami akan membingungkan mereka dengan berbagai diskusi sains maupun religi yang disertai istilah-istilah asing dan luapan catatan kaki." Dimas mencium Ruben, "Ngomong-ngomong, kami gay. Cukup kan, sebagai faktor kejutan dalam budaya yang masih homofobik?"

"Dan jangan lupakan saya," sambung Diva. "Seorang wanita cantik, cerdas, dan kaya dari menjual diri maupun entah apa lagi." Diva mengusap rambutnya. "Aku akan hadir sebagai tokoh rekaan Dimas dan Ruben yang kemudian membalikkan papan catur dengan menjadi nyata!"

Pembaca Indonesia pun berdecak kagum, "KEREN BANGET!"

Pembaca di seluruh bagian dunia lain mengerutkan kening, "Sophie's World?"

Monday, December 18, 2006

Lost in Teleporter


Fiksi
Judul: Lost in Teleporter
Penulis: Fitria Barmawi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


"Hmm, aku tidak suka hidungku," ujar Dewey. "Dan aku sebentar lagi menggunakan teleporter."

Hidungnya tertukar.

"Wow! Seharusnya mereka jual alat ini di TVMedia!" seru Dewey. "Ubah hidung Anda tanpa operasi hanya dengan--tunggu dulu! Aku nggak suka hidungku yang baru. Kembalikan yang lama, dasar NatioTrans busuk!"

"Maaf, Pak," ujar pegawai NatioTrans, "kami mengalami kesulitan..."

"Aku akan menuntut kalian ke pengadilan!" ancam Dewey.

"Bapak sudah bertemu kepala Divisi Perangkat Lunak kami yang cantik dan seksi?" tanya sang pegawai.

"Hai," sambut Meylana. "Bagaimana kalau kamu bergabung dengan kami sebagai narasumber?"

"Kapan aku bisa mulai?" senyum Dewey.

Meylana melirik tangan Dewey, "Bukannya kau sudah bertunangan?"

"Oh sialan," maki Dewey, "cincin ini nggak ikut terteleportasi."

"Bagiku nggak masalah kok," Meylana menenangkan Dewey.

Dewey mengangkat bahu, "Oke."

Dan mereka pun kencan.

"Bang, SMS siapa ini, Bang?" tanya Nilam, menunjuk pesan-pesan Meylana dalam smartphone Dewey.

Dewey memicingkan mata, "Kamu bukannya orang Sunda?"

"Oh, iya," Nilam malu. "Tepatnya aku orang Sunda yang introvert dan suka mengembara dalam mimpi. Poin ini penting untuk ditekankan."

"Terserah kau, lah," Dewey mengibaskan tangannya.

"Hei, hidungmu tertukar denganku, ya?" geram Narada. "Sayang sekali, saya nggak mau tukeran."

"Anda sudah bertemu tunanganku yang cantik, introvert, dan suka mengembara dalam mimpi?" tanya Dewey.

Narada melongo. "Oke, tukeran yuk."

"Hidung?" sambut Dewey bersemangat.

"Bukan, tunangan."

"Tapi kamu kan nggak punya tunangan," tunjuk Dewey.

"Betul," angguk Narada. "Dan sekarang, kamu yang nggak punya." Ia memeluk Nilam. "Kami sering bertemu dalam pengembaraan mimpi kami."

"Sial," maki Dewey. "Untunglah aku punya Meylana."

"Ngomong-ngomong," tukas Meylana, "aku udah bersuami."

Dewey menghela napas. "Tak apalah, aku akan berjiwa besar dan menerima semuanya." Hebatnya, ia tidak berbohong.

Sunday, December 17, 2006

Flash! Flash! Flash!


Fiksi
Judul: Flash! Flash! Flash! (Kumpulan Cerita Sekilas)
Penulis: Kira-kira sejumlah tiga tim sepakbola (termasuk cadangan dan pelatih)
Penerbit: Gradien Books


“Apa ini?” tanya sang pembaca.

“Oh, kau membaca karyaku,” jawab seorang penulis.

“Bukan, sekarang itu karyaku!” tukas penulis lainnya.

”Yang itu karyaku, kok,” potong bejibun penulis lainnya.

”Emang udah terbaca tiga cerita berbeda kok,” ucap sang pembaca. ”Bagus juga ceritanya pendek-pendek. Bisa kupakai untuk mendongeng ke keponakanku.”

”Jangan deh,” tahan bejibun penulis serentak.

Sang pembaca mengangkat kedua alis, ”Kenapa?”

”Ada pembunuhan tanpa alasan jelas,” ucap seorang penulis.

Penulis lain mengangguk, ”Ada cerita yang mengandalkan humor nyerempet seks.”

”Eh,” seorang penulis turut bersuara, ”tapi ada juga dong monolog tentang cinta.”

”Aku bingung,” sang pembaca memegang kepalanya. ”Jadi kalau aku disuruh bercerita tentang apa buku ini, apa yang harus kukatakan?”

"Ultah Blogfam ke-3!” seru mereka bersama.

”Oh,” angguk sang pembaca mengerti. ”Makanya semua cerita harus 126 kata, karena bulan dua belas tanggal enam, ya?”

”Em,” celetuk seorang penulis, ”bisa 216 kata juga sih.”

”Ulang tahunnya dua kali?” Alis sang pembaca kembali terangkat. ”Satu lagi pas 21 Juni?”

”Nggak sih,” ujar bejibun penulis serentak.

Sang pembaca mengangkat bahu, ”Terserah deh.”

Sunday, December 10, 2006

State of Fear


Fiksi
Judul: State of Fear
Penulis: Michael Crichton
Penerbit: Avon Books


“Hai,” sapa George Morton. “Saya biliuner kaya yang terlibat dalam berbagai proyek rahasia lingkungan hidup.”

“Dan saya pengacaranya,” ujar Peter Evans. “Walau di awal dialog saya sedikit, tapi saya adalah tokoh utamanya.”

George menghilang. Peter mencarinya. Dan dua kali hampir mati.

“Jangan khawatir,” kata John Kenner. “Di saat penting, aku pasti muncul untuk menyelamatkan situasi.”

“Kamu siapa?” tanya Peter.

“Aku agen rahasia pemerintah untuk melawan organisasi rahasia yang ingin mengakibatkan bencana alam berskala besar.”

Peter mengerutkan kening. “Saking rahasianya sehingga minim tenaga dan harus mengandalkan bantuan orang sipil seperti aku dan George?”

“Kira-kira begitu lah,” aku Kenner sambil menembak mati beberapa musuh.

“Jangan lupakan aku,” Sarah muncul. “Sekretaris cantik serbabisa berkaki jenjang.” Ia menembak mati seorang musuh. “Dan melengkapi elemen cerita agar bisa dijadikan skenario film Hollywood.” Ia menoleh ke arah Peter. “Oh, ya, ngomong-ngomong, George mati.”

“Oke,” kata Peter sambil turun dari pesawat. “Ada yang bisa memberiku alasan logis kenapa aku tetap ikut bersama kalian ke pulau terpencil ini, yang penuh dengan kanibal, pemberontak bersenjata, dan nyamuk malaria?”

Sarah mengangkat alis, “Tadi aku udah bilang belum mengenai diriku berkaki jenjang?”

“Jangan khawatir tentang nyamuk,” kibas Kenner. “Mereka bahaya jangka panjang. Pembaca hanya peduli bahaya jangka pendek.”

“Seperti itu?” tunjuk Peter kepada barisan mesin pembangkit tsunami.

“Ya,” angguk John. “Kau sedang cedera dan nggak pernah mendapatkan pelatihan militer, kan?”

“Belum pernah sama sekali,” geleng Peter.

“Oke, kau ambil alih satu generator.” John segera membunuh penjaga generator lainnya.

“Terlambat!” teriak Peter. “Mereka sudah sempat menyalakannya!”

“Celaka!” teriak George Morton. “Telepon CNN! Tunda siaran cuaca! Dan hubungi pialang sahamku juga. Jual semua saham hotel di pinggiran pantai!”

“George!” Peter berseru. “Kau masih hidup! Mari berlari ke dataran tinggi sebelum tsunami datang!”

“Oke!” sambut George. “Jangan lupa untuk membiarkan air di belakang kita setidaknya lima meter. Itu efeknya lebih tegang.”

Mereka selamat dan menyaksikan air laut yang mengganas. “Melihat semua ini membuatku menyadari sesuatu,” kata George.

“Bahwa banyak spekulasi tentang lingkungan hidup yang disesatkan sebagai informasi?” tanya Sarah.

“Bahwa kedua sisi—baik perusak maupun pelindung lingkungan—memiliki agenda?” tanya Peter.

"Bukan," geleng Morton. “Bahkan salah satu bencana alam terbesar di dunia pun bisa jadi ajang promosi novel.”

Monday, December 4, 2006

Koq Putusin Gue?


Fiksi
Judul: Koq Putusin Gue?
Penulis: Ninit Yunita
Penerbit: Gagas Media


"Gue menanti-nanti kejutan yang akan dibuat pacarku," ucap Maya. "Kami kan sudah jadian setahun."

"Kejutan!" seru Hari. "Kita putus, yuk?"

"Kenapa?" tanya Maya.

"Aku pengin kita temenan aja," jawab Hari.

"Oh, cewek lain," Maya menyingsingkan lengan baju. "Kalau gitu gue dendam deh."

"Emang kalau dendam mau ngapain?" tanya temannya, Rini.

"Gue akan menggunakan strategi Sun Tzu!" tegas Maya.

"Mengempeskan ban mobil?" tanya Rini. "Bagian dari mananya Sun Tzu tuh?"

Maya menatap temannya tajam, "Bab XVII: Jangan pertanyakan kedangkalan tokoh fiksi."

"Terserah," Rini mengangkat bahu. "Tapi suatu saat elo harus menyadari bahwa lebih baik merelakannya saja."

Dan Maya pun merelakannya.

Saturday, December 2, 2006

Love At First Fall


Fiksi
Judul: Love at First Fall
Penulis: Primadonna Angela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Aku Wulandari. Cewek tomboy stereotipikal yang bisa menang berkelahi melawan lelaki. Agar tidak terlalu stereotipikal, aku akan meracau tentang banyak hal.

Namun intinya: Aku senang Kevin. Ditunangkan oleh Kevin. Kevin tidak menganggapnya serius. Kalau gitu, aku juga nggak dong.

Pergi ke Den Haag aaah.

“Halo, Ndari!” sambut cowok bule ganteng di Den Haag. “Aku Steve, bule yang bisa berbahasa Indonesia kaku supaya dialog di buku ini tidak terlalu banyak dicetak miring,” sapanya. “Ngomong-ngomong cetak miring, I love you.”

Oke, ini pembelokan plot yang cukup penting. Kalau gitu, aku akan meracau lagi selama beberapa puluh halaman.

Main dengan Steve. Kepergok Kevin. Dia marah besar. Di saat seperti ini, aku harus bertindak seperti tipikal cewek tomboy mandiri: bingung. Kenapa marah, ya? Dan sebenarnya, perasaanku bagaimana ke Steve dan Kevin? Ini dua pertanyaan yang juga sangat penting. Karena itu aku harus menggunakan cara paling logis untuk menemukannya.

Bungee jumping aaah.

Oke, ternyata aku suka Steve. Lho, Kevin ternyata suka aku. Ngomong dong. Sekarang dah telat. Dadah. Saatnya untuk Ndari sang cewek mandiri untuk datang ke tempat Steve dan menyatakan perasaannya.

Hmm. Yang ada cuman teman lakinya. Dan kebetulan ingin memperkosaku. Sial juga. Tapi jadi untung kok karena Steve datang. Hore!

Happy ending aaah.

Friday, December 1, 2006

James dan Persik Raksasa


Fiksi (terjemahan)
Penulis: Roald Dahl
Judul asli: James and the Giant Peach
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


“Namaku James Henry Trotter,” ujar sang tokoh utama. ”Dan seperti cerita Roald Dahl lainnya, aku harus menderita di awal cerita agar bisa bahagia di akhir.”

“Aku tokoh jahat,” potong Bibi Sponge.

”Aku juga,” timpal Bibi Spiker. ”Ayo kerja, kau binatang menjijikkan!” serunya ke James.

“Psst, bocah kecil,” desis seorang pria tua. “Menderita, ya? Tanpa alasan yang jelas, aku memiliki benda sihir yang dapat membuat peminumnya menjadi berkuasa hebat. Dan aku akan memberikannya padamu cuma-cuma.”

“Wow!” James menerima benda ajaib itu. “Semoga dengan begini aku nggak mengajari anak-anak kecil di seluruh dunia untuk sembarangan menenggak apa pun yang dikasih orang asing.” Ia langsung berlari pulang. “Terima kasih Pak Tua! Sekarang aku akan bergegas lari tanpa memedulikan sekitarku!”

James tersandung akar dan menjatuhkan ribuan benda ajaib itu. Semuanya hilang ditelan tanah. Besoknya, tumbuh satu persik raksasa yang berlubang besar.

“Wah, ada lubang!” James memasukinya. “Siapa pun yang membuat lubang di persik, pasti orang baik.”

“Halo, James,” sapa Kakek Belalang Hijau, Laba-laba Besar, Kepik Raksasa, Lipan, Cacing Tanah, dan Cacing Cahaya.

James melongo, “Apa kalian benar-benar tokoh baik?”

”Kita akan memotong tangkai persik, membiarkannya menggelinding, dan melindas kedua bibimu hingga penyet,” ujar mereka.

”Sudah kuduga! Kalian memang tokoh baik!” seru James girang.

Persik menggelinding, melindas tokoh jahat, dan terjatuh ke laut.

”Wah, kita dalam kesulitan!” keluh para serangga.

”Jangan lupa,” ujar James. ”Aku anak kecil tertindas yang nggak pernah sekolah. Berarti aku pintar!”

”Horeeee! Kita selamat!” seru para serangga. ”Hei, tapi aku kan bukan serangga,” protes Cacing Tanah.

Mereka mengalami berbagai petualangan hingga persik tertusuk di atas puncak Empire State Building.

”Celaka! Polisi mengepung kita!” teriak Laba-laba Besar.

”Mereka mengira kita monster!” lolong Kepik Raksasa.

”Jangan khawatir!” potong James. ”Aku akan mengenalkan kalian sambil bernyanyi. Dengan begitu, kalian akan dicintai!”

”Horeeee!” seru para serangga dan penduduk New York.